Selasa, 18 Januari 2011

Hukum Adat Perkawinan dan Waris Adat Mandailing


PEMBAHASAN
  1. Perkawinan dan Waris
Menurut paham ilmu ethnologi dilihat dari keharusan dan larangan mencari calon isteri bagi setiap pria, maka perkawinan itu dapat berlaku dengan sistem “endogami” dan sistem “exogami” yang kebanyakan dianut oleh masyarakat adat bertali darah, dan atau dengan sistem “eleutherogami” sebagaimana berlaku dikebanyakan masyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum Islam. Di lingkungan yang sebagian besar menganut agama Kristen, masih mempertahankan susunan kekerabatan yang sifatnya asymmetrisch connubiumi, maka sistem yang dianut adalah “exogami”, dimana seorang pria harus mencari calon isteri di luar marga (klen-patrililinial) dan dilarang kawin dengan wanita semarga. Sistem perkawinan ke luar marga ini sudah luntur di daerah Tapanuli Selatan, Minangkabau, Sumatera Selatan, Lampung, dan beberapa daerah lain seperti di Maluku, Buru dan Seram. Antara lain yang menjadi sebab adalah masuknya pengaruh ajaran hukum Islam (Hilman Hadikusuma. 1977: 67-68).
Perkawinan adalah suatu persoalan yang penting dalam kehidupan masyarakat karena jika di tinjau dari segi sosiologinya adalah salah satu faktor penting untuk menimbulkan adanya masyarakat. Baik bagi masyarakat primitif maupun masyarakat modern perkawinan ini termasuk persoalan penting. Hal ini Nampak dengan adanya peraturan-peraturan yang mengatur soal-soal yang sehubungan dengan perkawinan ini (Lemta Tarigan. 2010: 45).
Di tanah Batak peranan orang tua dalam mencarikan jodoh bagi anaknya atau menyetujui perkawinan anaknya maka ia harus berunding dengan saudara-saudara semarga (dongan tubu), saudara-saudara perempuan dari ayah yang telah bersuami (boru) dan lain-lain.
Dalam harta warisan yang dimaksud adalah harta atau barang-barang yang dibawa oleh suami dan isteri kedalam perkawinan yang berasal dari harta warisan orang tua untuk dikuasai dan dimiliki secara perseorangan guna memelihara kehidupan rumah tangga.
  1. Hukum Perkawinan dalam Adat Mandailing
Dalam masyarakat yang berdasarkan hukum kebapaan mempunyai sifat dan ciri yang khas yaitu adanya pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Karena dalam perkawinan menurut hukum kebapaan, dimana  si perempuan dilepasakan dari lingkungan keluarganya semula dan dimasukan kedalam lingkungan suaminya. Mengenai tujuan perkawinan di Mandailing seperti halnya di daerah lain di seluruh dunia adalah untuk mendapatkan suatu keturunan hingga seterusnya. Dalam pelaksanaan perkawinan tentu ada cara dan proses pelaksanaannya. Namun di Mandailing sampai sekarang perkawinan dipandang ideal ialah perkawinan menurut adat (perkawinan yang dilaksanakan menurut adat) dan norma-norma agama. Pertunangan semasa kecil ini pada umumnya terjadi diantara orang berfamili (antara pihak mora dengan pihak anak boru). Dan satu hal yang diketahui bahwa perkawinan secara paksa sudah tidak ada lagi dalam masa sekarang di Mandailing.
Adapun pemberian itu pada mulanya bukanlah merupakan bentuk uang akan tetapi berupa benda-benda yang dianggap bermakna. Akan tetapi pada waktu sekarang ini pemberian itu sudah berupa benda yaitu uang jujur seperti pada masyarakat adat Mandailing.
Jenis perkawinan dalam masyarakat Mandailing, antara lain:
Perkawinan Na Nihobaran Adat
Perkawinan berdasarkan adat berarti berlangsungnya secara perkawinan itu tidak bertentangan dengan norma-norma adat (perkawinan secara wajar. Adapun perkawinan yang wajar itu tentu berangkatnya pengantin wanita dari rumah orang tuanya menuju rumah pengantin laki-laki mendapatkan persetujuan dari orang tua kedua belah pihak.
Pada suatu hari yang ditentukan (hari yang baik) berangkatlah rombongan pihak laki-laki untuk menjemput pengantin perempuan di rumah orang tuanya. Ketika itu calon pengantin laki-laki harus ikut, karena sebelum berangkat dari rumah perempuan, mereka diberi makan dan setelah itu diberi nassihat, sekalipun mereka belum resmi sebagai suami isteri. Besok harinya rombongan laki-laki mangkobar (melaksanakan adat sebagai tenda bukti berangkatnya seorang gadis untuk tujuan berumah tangga) telah ikut serta. Rombongan mangkobar itu terdiri dari yang dituakan di kampung itu, anak boru dari pihak laki-laki dan juga cerdik pandai di kampung itu. Setelah selesai makan, calon pengantin perempuan diberikan sirih, seterusnya ibunya pun memberikan kata nasihat kepadanya. Ketika anaknya mau melangkah kaki dari rumah itu, ankanya memberikan sirih kepada ibunya, menandakan minta izin dan doa restu serta menyatakan terima kasih atas susah payahnya ibunda tercinta merawatnya sejak kecil hingga dewasa. Setelah itu, boru (calon pengantin perempuan) menyalami semua yang ada di rumah itu. Terutama sekali orang tuanya sendiri. Dia pun berdiri bersama orang yang menemaninya, biasanya dua orang anak gadis satu kaum ibu apakah bounya atau paribannya.
Ketika mau berangkat, mereka memberi uang sekedarnya kepada teman-teman yang mau ditinggalkan, uang itu disebut uang gelap, karena diberikan dihari gelap. Mereka membawa boru (calon pengantin perempuan) itu ke kampung halaman mereka malam itu juga. Tibalah mereka di kampung, begitu sampai di halaman rumah mertuanya yang perempuan langsung menuntunnya menuju rumah. Begitu mendekat tangga rumah, mertuanya menyuruhnya untuk melangkahkan kaki kanan. Pada saat diinjakkannya kakinya mereka serentak meneriakkan horas (menyatakan selamat) atas kedatangan boru ke rumah agar boru itu membawa rezeki dan keselamatan. Di dalam rumah sebelumnya dikembangkan tikar lambahan (tikar adat yang cantik) untuk tempat duduk mereka yang baru sampai, khususnya boru dan bayo nadi oli (calon pengantin perempuan dan laki-laki). Selanjutnya dihidangkan santan pamorgo-morgoi (kue yang terbuat dari tepung beras, biasanya dikepal dan airnya berupa santan kelapa yang diberi gula merah).
  Makanan ini diberi guna membuang hal-hal yang panas atau makhluk halus. Dengan kata lain, meminta doa kepada Tuhan agar dari kesehatan dan rezeki dan apa yang dihajatkan tidak mendapat rintangan hendaknya. Bagaimana manisnya santan itu begitulah hendaknya dengan keluarga itu (tidak ada keributan dan percekcokan). Itak sigurguron pun dikasih dengan harapan Tuhan memberikan kesejahteraan dan kemuliaan dalam rumah tangga. Selesai makan santan orang-orang sekampung pun berdatangan melihat tamu baru itu. Datang pula hatobangon (yang dituakan) di kampung itu guna mempertanyakan apa tujuan sebenarnya kekampung itu.
Boru (calon pengantin perempuan) harus menjawabnya dengan bantuan yang menemaninya. Tujuannya adalah mengikuti si Doli (calon pengantin laki-laki) denga maksud teman sependeritaan, teman hidup semati. Mendengar jawaban itu, mereka pun bergembira. Mereka bersama-sama mengucapkan horas, horas, horas.
Adapun cara-cara sebelum perkawinan dilaksanakan (Parlaungan Ritonga dan Ridwan Azhar. 2002: 53-64), yaitu:
a.       Mangkobar Boru, yaitu perundingan mengenai uang perkawinan dari pihak Mangkobar boru dengan orang kaya di kampung bersama tua moranya, hatobangon, harajaon dan anak boru yang diutus pihak laki-laki.
b.      Indahan tungkus pasae robu, yaitu setelah boru melangkahkan kaikinya kerumah namborunya, mufakatlah orang tuanya sehubungan dengan rencana mengantarkan indahan tungkus pase robu. Selama anak gadis mereka melangkah kaki mereka masih marrobu (tidak boleh saling mengunjungi). Antara mora dengan anak boru tidak boleh saling mengunjungi selama indahan toppu belum diantar pihak mora kepada borunya. Menurut kebiasaan kalau terjadi kunjungan-mengunjungi antara keduannya sebelum indahan toppu robu selesai, maka kata orang-orang tua akan muncul kesusahan.
c.       Paulak indahan toppu robu, yaitu sebagai balasan indahan toppo robu yang diantarkan pihak mora ke rumah pihak anak borunya. Orang yang berangkat kerumah mora (malungun) terdiri dari boru (pengantin perempuan), bayo (pengantin laki-laki), amang boru, namborunya, kahanggi, anak borunya dan beberapa orang gadis.
d.      Mebat lungun, yaitu setelah beberapa bulan gadis melangkahkan kakinya memasuki jenjang rumah tangga, maka tibalah waktunya mereka mengunjungi rumah orang tuanya (pihak mora) yang ada dalam adat Mandailing disebut mebat. Mebat lungun dilakukan sekaligus saat paulak indahan toppu robu, biasanya dilaksanakan pada hari yang sama. Selanjutnya barang-barang yang mau diberikan dikumpulkan di hadapan mereka. Kain dan pakaian pemberian kaum family dimasukan ke dalam sumpit atau hadangan situdu na marihot.

Dalam perkawinan adat Mandailing pun tidaklah diizinkan melakukan perkawinan sesama marga
  1. Hukum Waris dalam Adat Mandailing
Dalam hukum waris  adat Mandailing akan dijelaskan hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan atau pengoperan dan peralihan atau perpindahan harta kekayaan materill dan non-materill dari generasi kegenerasi.
Asas ahli waris utama dan pertama dari Batak Mandailing bahwasanya seperti masyarakat batak lainnya yang menganut paterineal hanya benar terhadap anak laki-laki (meskipun harta benda telah dibawakan kepada anak perempuan tidak boleh diabaikan).
Dalam pewarisan dalam suku adat Mandailing bahwa hukum waris yang dipakai mencangkup 3 (tiga) yang diutamakan dalam adat Mandailing, yaitu (Imam Sudiyat. 1978):
1.      Memakai hukum adat sebagai tombak pertama dalam menentukan waris.
2.      Memakai hukum Islam, sebab dalam suku Mandailing sudah memeluk agama Islam, maka mereka memakai hukum Islam dalam pewarisan.
3.      Memakai hukum konvensional/hukum nasional, sebab bila hukum adat dan hukum Islam tidak ingin dipakai maka mereka memakai hukum nasional.

Dalam suku Mandailing mengenai waris cepat-lambatnya orang memakai kata sepakat dalam pembagian harta itu tergantung dari faktor ekonomis dan religio-magis. Seperti:
·         Putra-putra Mandailing yang ayahnya mencapai sukses didalam hidupnya, ingin secepat mungkin memiliki pembagian di dalam harta pencarian almarhum; dengan pemilikan itu mereka akan turut menikmati sukses yang terkandung di dalam harta tersebut sebagai kekuatan gaib; sebaliknya, lading-ladang warisan kakek leluhur mereka misalnya akan mereka biarkan tetap tak terbagi seumur hidup.
Waris utama pada kekerabatan Paterilineal khususnya suku Mandailing maka dalam hal ini terasakah adanya ketegangan antara tuntutan hak dari kesatuan keluarga dengan tuntutan hak dari kerabat tersebut yang ingin mewarisi harta kepada keluarga.
Dalam pembagian warisan dalam suku mandailing yang memiliki waris di bagi atas 3 (tiga), yaitu (Imam Sudiyat. 1978):
1.      Anak laki-laki tertua
2.      Anak laki-laki termuda
3.      Anak laki-laki sulung dan bungsu

Hambatan dalam waris adat Mandailing adalah anak tidak mewarisi sari salah seorang di antara orang tertuanya yang instusional tetap tinggal dalam kerabatnya, sedangkan anak-anak tidak masuk di dalamnya. Dan suatu hambatan lain bagi anak di dalam terlaksana bersegi satu untuk mewarisi dari kedua orangtua, ialah bentuk perkawinan yang berakibat bahwa anak yang kawin dibebaskan dari panguyuban hidup kekerabatan. Contoh dimana anak perempuan dengan perkawinan keluar dari kerabat ayahnya, sehingga ia tidak dapat menuntut hak mawaris tanpa wasiat.
Dan dalam Adat Mandailing yang sudah mengalami perubahan dikarenakan dalam adat tersebut sudah berbaur dengan agama. Sehingga dalam adat Mandailing hukum yang menetapkan dalam waris adalah memakai hukum Islam. Walaupun lebih banyak laki-laki yang mendapat waris seperti halnya hukum adat, namun dari pihak perempuan pun mendapat bagian dalam waris yang telah ditentukan dalam hukum Islam. Itulah sebabnya hukum adat mulai banyak dilupakan yang menyebabkan pergantian dalam adat Mandailing. 


DAFTAR PUSTAKA
·        Ritonga, Parlaungan. Dkk. 2002. Sistem Pertuturan Masyarakat Tapanuli Selatan. Medan: PT. Yandira Agung.
·        Hadikusuma, Hilman. 1977. Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Alumni.
·        Lubis, Arbain. 1993. Sejarah Marga-marga Asli Di Tanah Mandailing. Medan: USU.
·        Tarigan, Lemta. 2010. Hukum Adat. Medan: Universitas Negeri Medan.
·        Sudiyat, Imam. 1978. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar